Minggu, 13 November 2016

Silakan masukRevolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia

Silakan masukRevolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia Firdaus Tunisia sebagai negara bekas jajahan Perancis, telah mengadobsi konstitusi Perancis. Konsep Liberte, Egalite dan Fraternite terangkum dalam faham kemanusian, keadilan, persatuan, persaudaraan Arab Maghreb, serta pemisahan kekuasaan. Islam juga menjadi salah satu pilar negara dalam posisi yang sejajar dengan pilar-pilar tersebut. Dengan menerapkan konsep ini seharusnya tidak terjadi revolusi Melati di Tunisia. Tujuan kajian ini untuk menjelaskan sebab terjadi revolusi di Tunisia dan dampaknya terhadap negara-negara lain di Timur Tengah. Metode yang dipakai dalam kajian ini adalah penelitian kepustakaan. Revolusi Melati yang terjadi pada akhir tahun 2010 hingga tahun 2011 bermula dari Revolusi Tunisia hingga menyebar ke berbagai Negara-negara Arab lainnya. Revolusi Melati sendiri merupakan sebuah peristiwa yang dalam dunia internasional, merupakan sebuah peristiwa besar. Hal ini dikarenakan peristiwa revolusi yang didasari oleh demokratisasi rakyat yang pertama kali terjadi selama beberapa dekade di Timur Tengah. Kata Kunci: Revolusi Melati, Demokratisasi, Arab’s Spring Pendahuluan Akhir-akhir ini terjadi gejolak politik di negara-negara yang berbentuk republik dengan sistem demokrasi di Timur Tengah. Gejolak politik ini mengakibatkan munculnya revolusi di mana-mana, seperti Tunisia, Libiya, Mesir, Suriah, Yaman, Sudan dan sebagainya. Untuk wilyah Afrika Utara, gejolak politik ini bermula dari negara Tunisia. Apabila kita amati Negara Tunisia, merupakan negara yang berbentuk republik dan mempunyai Undang-undang Dasar (https://www.academia.edu/5728612/Demokratisasi di Tunisia) Tunisia sebagai negara bekas jajahan Perancis (Maidir Harun, 2010: 80) telah mengadobsi konstitusi Perancis. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan negara tercantum secara eksplisit dalam teks pembukaan konstitusi (Preamble). Konsep Liberte, Egalite dan Fraternite terangkum dalam faham kemanusian, keadilan, persatuan, persaudaraan Arab Maghreb, serta pemisahan kekuasaan. Islam juga menjadi salah satu pilar negara dalam posisi yang sejajar dengan pilar-pilar lain yang disebutkan di atas (John L. Esposito,2002:57). Model Trias Poltica versi Perancis dengan kekuasaan terbesar berpusat di tangan Presiden menjadi acuan bagi penyelenggaraan kenegaraan di Tunisia yang mengambil bentuk Republik (https://www.academia.edu/5728612/Demokratisasi di_Tunisia). Sementara kekuasaan legislative dijalankan oleh sebuah lembaga perwakilan yang disebut National Parliament (Majlis al-Nuwaab). Institusi ini menjalankan fungsi legislasi, budgeting dan control terhadap pemerintah. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden yang bertanggungjawab dalam semua penyelenggaraan pemerintahan dan penetapan dasar-dasar fundamental pembangunan. Presiden juga berperan sebagai kepala negara sebagaimana tercermin dalam fungsi diplomatik dan posisinya sebagai pimpinan tertinggi militer. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh kabinet atau dewan menteri (Council of Ministers) yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Kekuasaan Yudikatif dipimpin oleh sebuah lembaga mirip Mahkamah Agung yang bernama Superior Council of Magistrature yang diduduki oleh hakim-hakim agung. Fungsi kehakiman di Tunisia menjalankan dua jenis peradilan, umum (Court of Accounts) dan Administratif (Administrative Tribunal). Apabila sistem ini dapat berjalan dengan baik, barangkali tidak terjadi “revolusi melati” yang menggemparkan dunia. Yang menjadi pertanyaan di sini, kenapa terjadi revolusi di Tunisia dan bagaimana dampaknya terhadap negara-negara lain di Timur Tengah. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan sebab terjadi revolusi di Tunisia dan dampaknya terhadap negara-negara lain di Timur Tengah. Metode yang dipakai dalam kajian ini adalah penelitian kepustakaan. Revolusi Melati Tunisia 2010 Pada penghujung 2010 hingga awal 2011, kawasan di Afrika Utara dan Timur Tengah mengalami pergolakan politik yang dikenal dengan revolusi Arab’s Spring atau dengan nama Jasmine Revolution (Revolusi Melati). Suatu revolusi yang bertujuan untuk menumbangkan penguasa mereka yang dimulai dari Tunisia menyusul Mesir, Libya, Suriah dan negara-negara Arab lainnya. Namun hanya beberapa negara saja yang berhasil menjatuhkan pemimpin negaranya seperti Tunisia, Mesir dan Libya. Revolusi yang kemudian menggoncang stabiltas politik dan menjalar begitu cepat di kawasan Timur Tengah yang diberi nama Revolusi Melati adalah suatu istilah yang diberikan oleh orang-orang Timur Tengah untuk mengidentikkan pergolakan rakyat di negara-negara Timur Tengah bagaikan bunga Melati yang sedang mekar. Bunga melati adalah jenis tumbuhan bunga yang menarik untuk dipandang, harum, dan simbol dari ekspresi kesucian dan ketulusan kasih sayang. Negara-negara yang bergejolak tersebut ibaratnya merupakan sebuah tangkai yang berada satu di Afika Utara dan kawasan Timur Tengah. Sejak peristiwa tersebut, terjadi aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Tunisia, aksi tersebut dilakukan oleh masyarakat Tunisia yang sudah bosan dan jenuh terhadap kondisi di negaranya. Setelah beberapa hari melakukan aksi demonstrasi, kekuasaan Presiden, akhirnya lepas pada tanggal 14 Februari 2011. Setelah mengundurkan diri Zein Al-Abidin Ben Ali langsung melarikan diri ke Arab Saudi untuk mencari perlindungan (suaka politik). Kesuksesan rakyat Tunisia menumbangkan rezim penguasa mereka, mengilhami rakyat Mesir untuk melakukan hal yang sama. Sebab mereka memiliki persoalan yang sama yaitu pengangguran, kemiskinan dan kleptokrasi penguasa mereka dan akhirnya rakyat Mesir mengulang sukses yang sama dengan Tunisia. Rakyat Mesir juga berhasil memaksa pengunduran diri Presiden Husni Mubarak tanggal 11 Februari 2014. Sejalan dengan Mesir, hal yang sama Libya ikut bergejolak atas kediktatoran Muhammar Khadafi yang berkuasa 42 tahun lamanya. Terilhami oleh aksi masa di Tunisia pada akhirnya rakyat Libya bergejolak dan rakyat Libya terbebas oleh kediktatoran Muhammar Khadafy yang tewas oleh rakyatnya sendiri. Ketiga momentum revolusi ini saling memiliki keterkaitan sehingga tidak bisa dilepaskan dari kancah perpolitikan di Timur Tengah. Latar Belakang Lahirnya Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia Kronologis terjadinya revolusi Tunisia berawal pada hari Jumat tanggal 17 Desember 2010, Muhammad Bouazizi berangkat dari rumahnya pagi-pagi menuju gerobak tempatnya berjualan. Mohammad Bouazizi adalah seorang pedagang sayur dan telah berdagang selama lebih dari 7 tahun. Bouazizi berdagang sayur di kota Sidi Bouzid yang terletak di sebelah selatan Tunisia. Bouazizi berjualan sayur mejadi penopang nafkah hidup bagi delapan anggota keluarganya. Bouazizi dan gerobaknya telah menjadi target operasi razia aparat karena dianggap berjualan tanpa izin (Faizal, 2013: 40). Bouazizi sendiri harus membayar denda 10 Dinar karena tidak memiliki izin vendor. Bouazizi tidak mempunyai pilihan lain, selain terus bekerja sebagai pedagang kaki lima. Lantaran itu Bouazizi dan gerobaknya telah menjadi target razia petugas aparat setempat selama bertahun-tahun. Sudah menjadi hal yang lazim jika para pedagang di Sidi Bouzid harus mengeluarkan uang agar dapat menyuap para aparat agar mereka diperbolehkan untuk jualan. Namun saat itu Bouazizi tidak memiliki uang untuk menyuap aparat. Saat sedang menata dan merapikan barang dagangannya, kurang beruntung baginya hari itu ketika Faida Hamdi, seorang oknum Aparat Wanita Sidi Bouzid bersama dua rekan mendatanginya dan menyampaikan bahwa Bouazizi tidak memiliki izin berjualan sehingga karena itu gerobaknya akan disita dan karena itu harus membayar denda. Bouazizi tidak terima begitu saja, maka sempat terjadi adu mulut. Aparat tersebut menanggapinya, dia menampar, meludahi wajahnya, menyita timbangan, melemparkan gerobak dan menghina mendiang ayahnya. Tidak hanya sampai disitu, dengan dibantu oleh dua rekannya, mereka memukili Bouazizi (Faizal, 2013: 41). Satu hal yang paling menyakitkan bagi Bouazizi adalah penghinaan terhadap mendiang ayahnya, karena bagi adat-istiadat orang Arab penghinaan terhadap keturunan seseorang merupakan hal yang paling memalukan. Ini yang membuat Bouazizi marah dan ia pergi ke kantor Gubernur Sidi Bouzid untuk mengadu. Namun, Gubernur bahkan menolak untuk melihat dan mendengarkannya. Bouazizi mengatakan jika ia tidak bertemu dengan Gubernur, maka Bouazizi akan melakukan aksi bakar diri. Sebelum aksinya, Bouazizi sempat menulis surat kepada sang Ibu sebagai pesan agar ibunya memaafkannya setelah kehilangan harapan dalam segala hal. Semua pintu tertutup bagi Bouazizi. Dia menangis terus-menerus tetapi tidak seorang pun mau membantu. Jadi, Bouazizi merasa satu-satunya solusi yang hanya ada ialah mati. (Faizal, 2013: 42-43) Kurang dari satu jam setelah konfrontasi atau sejak terjadinya perkelahian itu, sekitar pukul 11.30, Bouazizi kembali ke kantor Gubernur tanpa ditemani satupun anggota keluarganya. Bouazizi membawa dua botol bensin kemudian menyiram dirinya di depan kantor Gubernur pemerintah daerah. Api menyala-nyala dari tubuhnya, Bouazizi pun berlari turun keluar dari Kantor Gubernur menuju halaman. Setelah berlari dengan tidak beraturan, akhirnya Bouazizi terjatuh ke tanah. Setelah aksi tersebut, Bouazizi segera dilarikan ke rumah sakit. Namun kemudian dipindahkan ke rumah sakit kota Ben Arous, dekat Tunis dan menjalani perwatan Trauma Centre dan Burn. Pada tanggal 18 Desember 2010 dilakukan aksi unjuk rasa yang menyebabkan kerusuhan di kota Sidi Bouzid, bahkan aparat setempat kewalahan mengatasi kerusuhan tersebut. Sejumlah jejaring sosial seperti Facebook dan Youtube menampilkan gambar ketika aparat mengahalau pemuda yang menyerang jendela toko dan merusak mobil. Pada 19 Desember 2010, para pengunjuk rasa berkumpul di luar markas besar pemerintah daerah untuk menunjukkan simpati terhadap upaya perawatan Mohamad Bouazizi. Namun aparat menghalangi demonstran dan menggunakan gas air mata pada ratusan demonstran muda di Sidi Bouzid. Pers yang meliput pun dibatasi gerakannya untuk meliput, bahkan tambahan bantuan aparat didatangkan dan berada di setiap jalan-jalan kota Sidi Bouzid. Pada 22 Desember 2010, Lahseen Naji, salah seorang demonstran yang didera oleh kemiskinan dan pengangguran mendaki sebuah tiang listrik dan melakukan aksi electrocuting atau potong kabel kemudian seorang bernama Ramzi Al-Abboudi juga melakukan aksi bunuh diri karena kesulitan keuangan yang timbul dari utang usaha oleh Negara mikro kredit program solidaritas. Pada 24 Desember 2010, di Bouziane terjadi demonstrasi dan salah seorang demonstran tewas, Mohamed Ammari yang terkena tembakan aparat di dadanya sejumlah demonstran lainnya juga ikut terluka, termasuk Chawki Belhoussine El Hadri, yang meninggal kemudian pada 30 Desember 2010. Aparat menyatakan mereka menembak para demonstran sebagai bentuk upaya membela diri. Dampaknya, jam malam diberlakukan oleh pihak aparat (Faizal, 2013: 47). Kekerasan kemudian meningkat secara terus-menerus, bahkan demonstrasi telah mencapai ibukota negara, Tunis. Pada 27 Desember 2010, sekitar 1000 warga bersama-sama dengan penduduk Sidi Bouzid mengekspresikan solidaritas menyerukan suatu aksi bersama menentang pemerintahan. Demonstrasi yang dimotori aktivis serikat buruh independen, akhirnya dihentikan oleh pasukan keamanan. Demonstrasi juga menyebar ke Kota Sousse, Sfax fan Meknasy. Federasi Serikat Buruh Tunisia kembali mengadakan rapat umum di Gafsa yang juga doblokir oleh pasukan keamanan. Pada saat yang sama sekitar 300 pengacara mengadakan sebuah aksi demo dekat pemerintah istana di Tunis. Dalam upaya untuk memadamkan kerusuhan, Presiden Zine Al Abidine Ben Ali mengunjungi Bouazizi di rumah sakit pada 28 Desember 2010. Akan tetapi demonstrasi kembali dilanjutkan lagi 29 Desember 2010. Pada tanggal 30 Desember 2010, aparat membubarkan demonstrasi damai di Monatir dengan menggunakan kekerasan untuk mengatasi demonstrasi lebih lanjut di Sbikha dan Chebba. Momentum kembali muncul untuk melanjutkan demonstrasi pada tanggal 31 Desember 2010. Ketika dilakukan demonstrasi dan pertemuan umum oleh pengacara di Tunisia dan kota-kota lainnya menyusul seruan Kelompok Pengacara Nasional Tunisia. Mokhtar Trifi selaku presiden Liga Hak Asasi Manusia Tunisia mengatakan bahwa pengacara di Tunisia telah secara kejam dianiaya. Tanggal 3 Januari 2010, demonstrasi dilakukan dekat kota Thala dengan mengusung isu pengangguran dan tingginya biaya hidup, namun akhirnya demonstrasi berubah menjadi kekerasan. Demonstrasi yang diikuti kurang lebih 250 orang tersebut, diikuti sebagian besar mahasiswa sebagai upaya untuk mendukung aksi demonstran di Sidi Bouzid. Sebagai respon, para pengunjuk rasa dilaporkan telah membakar ban dan menyerang kantor Konstitusi Demokratik Rally. Untuk mencegah demonstrasi massal pihak pemerintah Tunisia menyensor situs online yang memuat foto-foto aksi demonstrasi. Pihak berwenang Tunisia juga diduga telah melakukan operasi phising untuk mengendalikan pengguna website. Kondisi Bouazizi semakin parah, akhirnya hari selasa, tanggal 4 Januari 2011 atau 17 hari setelah aksi bakar dirinya tersebut, tepat pukul 17.30 waktu setempat Bouazizi menghembuskan nafas terakhirnya. Keesokan harinya Bouazizi dimakamkan di pemakan Bennour Garat yang bejarak 10 mil dari Sidi Bouzid (Faizal, 2013: 44-45). Tanggal 5 Januari 2011, sekitar 5000 orang ikut ambil bagian dalam prosesi pemakaman Bouazizi. Mereka di antaranya adalah para pekerja dari organisasi serikat pekerja resmi bernama Kamel Laabidi. Akan tetapi aparat berusaha mencegah iring-iringan tersebut melewati tempat Bouazizi membakar dirinya agar tidak terjadi kerusuhan. Kemarahan publik di Sidi Bouzid dengan cepat tumbuh atas insiden Muhamad Bouazizi yang meninggal akibat aksi bakar diri. Tanggal 6 januari 2011, 95 persen dari 8000 pengacara Tunisia mogok. Menanggapi aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan, aparat mengirim pasukan anti huru-hara untuk membubarkan aksi kerusuhan karena massa merusak bangunan, membakar ban, membakar sebuah bus dan membakar dua mobil kelas pekerja pinggiran dari Ettadhamen-Mnihla di Tunis. Aparat militer juga dikerahkan di banyak kota di seluruh negeri. Menanggapi demonstrasi 2010-2011 Tunisia, Presiden Zein al-Abidine Ben Ali menyatakan keadaan darurat di negara ini, dia berjanji pada tanggal 14 Januari 2011 akan mengadakan pemilihan legislatif baru dalam waktu eman bulan. Namun, waktu bergerak cepat dan angkatan bersenjata serta sejumlah anggota legislatif telah kehilangan kepercayaan pada presiden dan telah memutuskan untuk mengambil langkah-langkah mereka sendiri. Pada tanggal 23 Januari 2011, ribuan aparat juga akhirnya bergabung demonstrasi di Tunisia atas gaji dan untuk meredakan kemarahan publik atas kematian politik yang disebabkan selama pemerintahan Zein al-Abidine ben Ali. Bahkan panglima militer Tunisia, Rachid Ammar mengumumkan pada tanggal 24 Januari 2011, berada di sisi pengunjuk rasa dan akan membela revolusi. Pada tanggal 4 Februari 2011, di Sidi Bouzid kembali terjadi demonstrasi menuntut penangkapan dua personel pasukan keamanan atas kematian dua demonstran. Beberapa ratus orang muncul di kantor aparat setempat sebagai akibat diagnose staf medis di rumah sakit setempat mengatakan, mereka menemukan tanda-tanda terbakar pada tubuh korban (http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/01/110123_tunisia_pahlawan.shtml). Pada tanggal 5 Februari, pengunjuk rasa di Kef meyerukan agar kepala aparat stempat Khaled Ghazouani harus dipecat karena menyalahgunakan kekuasaannya. Pengunjuk rasa melemparkan batu dan bom api kecil serta dua mobil dibakar, salah satunya adalah sebuah kendaraan aparat. Aparat pertama kali merespon dengan gas air mata dan kemudian menembaki para demonstran, dimana dua orang tewas seketika dan dua meninggal di rumah sakit, 15 lainnya juga terluka. Kepala Prefektur/Kepolisian, Mohamed Najib Tlijali menyerukan ketenangan dan berjanji akan mengusut hal tersebut. Kekuasaan Presiden akhirnya lepas dari genggaman Zein al-Abidin Ben Ali ketika mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan tanggal 14 Februari 2011 sekitar pukul 16:00 waktu setempat dan pernyataannya didelegasikan kepada Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi untuk bertindak sebagai kepala negara selama ketidak hadirannya (http://dunia.vivanews.com/news/read/211897-konflik-tunisia). Satu hari pasca Pengunduran diri Presiden Tunisia, pemerintah transisi pada tanggal 15 Februari 2011 melalui kementrian Dalan Negeri Tunisia secara resmi mengakhiri jam malam di seluruh penjuru negara Tunisia. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala hal yang mungkin dapat mengancam keamanan negara dan dalam memastikan keamanan masyarakat serta perlindungan bagi fasilitas umum dan swasta. Namun, hal ini tetap tidak membuat rakyat tenang karena yang memerintah masih antek-antek Zein al-Abidin Ben Ali. Pada hari Sabtu 22 Februari 2011, pengunjuk rasa kembali memadati pusat Kota Tunis dan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi. Akibat unjuk rasa yang menentang pemerintahan sementara pimpinan Perdana Menteri Ghannouchi, akhirnya Ghannouchi secara resmi mengundurkan diri dari dunia politik pada hari Minggu 27 Februari 2011. Mohammed Ghannouchi mengundurkan diri setelah memimpin pemerintah sementara selama enam pekan. Ghannouchi mengumumkan pengunduran dirinya setelah gelombang aksi protes kembali terjadi di ibukota, Tunis. Para pengamat menilai Ghannouchi sebenarnya cukup berkompeten untuk memimpin pemerintahan transisi. Namun rakyat Tunisia punya pandangan lain. Ghannouchi dinilai bermasalah karena kedekatannya dengan bekas diktator Zein al-Abidin Ben Ali. Gahnnouchi selalu membantah memainkan peranan penting dalam rezim Ben Ali. Ghannouchi mengaku ketakutan seperti juga warga Tunisia yang lain. Namun pada akhirnya bayang-bayang masa lalu itu terlalu panjang. Dengan langkah tersebut, Ghannouchi kini membuka jalan bagi perdana menteri baru yang memiliki ruang gerak lebih besar untuk mewujudkan harapan penduduk Tunisia. Ghannouchi menuturkan, terdapat petunjuk kuat adanya upaya untuk menggagalkan revolusi. Gahnnouchi mengharapkan dengan mengundurkan diri, rakyat Tunisia akan berdamai. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Revolusi Tunisia. Revolusi Tunisia sendiri terjadi disebabkan aksi bakar diri seorang pemuda bernama Muhammad Bouazizi yang tidak tahan melihat pemerintah Tunisia. Aksi bakar diri tersebut kemudian berkembang menjadi aksi demosntrasi rakyat yang besar-besaran untuk melawan pemerintah otoriter Presiden Ben Ali. Dengan mengatas namakan demokrasi, rakyat Tunisia melakukan unjuk rasa untuk menuntut demokrasi yang tidak mereka alami selama pemerintahan otoriter Ben Ali berkuasa. Penulis mencatat ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya revolusi di Tunisia. 1. Faktor ekonomi. Melihat dari kondisi Tunisia selama beberapa tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa Tunisia memiliki potensi sumber daya alam dan manusia yang sangat baik. Kalangan elit negara tidak memiliki kejelasan ideologis atau kurang berpengaruh terhadap masyarakat dalam menginplementasikan program investasi negara yang memusat dalam mengatasi persaingan kebutuhan pekerjaan dan kemakmuran. (Ira M. Lapidus, 2000:236). Namun dalam kenyataannya, banyaknya pengangguran dan terjadinya krisis ekonomi yang terjadi di Tunisia. Ini menjadi sebuah pertanda kalau sistem pemerintahan dan perekonomian Tunisia tidak berjalan sebagaimana yang mestinya. Rakyat Tunisia melakukan Revolusi untuk menuntut pemerintah tentang tingginya tingkat penganguran dan tentang krisis ekonomi yang terjadi di Tunisia yang apabila dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan sumber daya alam Tunisia yang banyak, maka akan sangat jauh berbeda. 2. Pelanggaran Demokrasi Rezim pemerintahan Presiden Ben Ali dianggap otoriter dan tidak demokratis oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia independen internasional seperti Amnesty International, Freedom House dan Perlindungan Internasional. Mereka mengkritik pejabat Tunisia karena tidak menghormati standar internasional atas hak-hak politik dan mengganggu pekerjaan dari organisasi hak asasi manusia lokal. The Economics 2010 untuk Indeks Demokrasi, Tunisia telah diklasifikasikan sebagai rezim otoriter peringkat 144 dari 167 negara yang diteliti. Pada tahun 2008, dalam hal kebebasan pers, Tunisia menduduki peringkat 143 dari 173 negara. Jaringan berita Al Jazeera menyatakan bahwa akses internet di negara sedang dibatasi pada revolusi 2011. Rezim pemerintahan Presiden Ben Ali yang mengekang kebebasan berbicara adalah salah satu penyebab demonstrasi massal pada Desember 2010 sampai Januari 2011. Ini adalah kerusuhan terburuk Tunisia yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Politik otoriter Presiden Ben Ali oleh rakyat Tunisia, dianggap gagal mewakili nilai-nilai demokrasi khususnya di bidang Hak Asasi Manusia. Menurut pandangan tokoh demokrasi, konsep hak asasi manusia sangat berhubungan erat dengan konsep demokrasi yang menitik beratkan tentang kedaulatan rakyat. Tindakan Presiden Ben Ali yang mengekang kebebasan pes serta menghakimi sendiri partai atau elit politik yang mencoba melawan Ben Ali dinilai melanggar nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Rakyat Tunisia yang telah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Presiden Ben Ali kemudian berani keluar dan berani bersuara dengan melakukan aksi demonstrasi dengan menuntut Presiden Ben Ali agar turun dari jabatannya sebagai presiden (Faizal,2013: 85). 3. Kultur Budaya Bangsa Arab Rakyat di kawasan Timur Tengah memiliki kultur budaya yang hampir sama, yaitu bangsa Arab dan didominasi oleh kaum Muslim yang secara historis memiliki kejayaan di masa lampau. Sehingga meskipun terpisah-pisah dalam beberapa negara, namun bangsa ini merasa senasib dan sepenanggungan. Sebagai contoh Revolusi di Tunisia yang berhasil menumbangkan Presiden Ben Ali, oleh rakyat Mesir dianggap dapat juga terjadi di Mesir dan hasilnya, Presiden Mubarak dapat berhasil diturunkan. 4. Dampak Buruknya Penjajahan Kolonialisme Bangsa Arab sama-sama merasakan betapa buruknya penjajahan kolonialisme selama beberapa dekade meskipun pewaris selanjutnya adalah kaum generasi muda. Namun mereka juga merasakan penderitaan yang diwariskan para pendahulu mereka di masa lampau dan menyebabkan keterbelakangan mereka dalam segala hal. Tunisia dan Aljazair pernah dijajah oleh Perancis, dan Mesir dijajah oleh Inggris. Pasca kemerdakaan dari kolonialisme bangsa Arab di Timur Tengah belum merasakan arti kemerdekaan dalam artian sebenarnya, baik dalam segi ekonomi maupun politik termasuk merasakan arti sebuah demokrasi. Justru para penguasa menjadi diktator dan otoritarian. Dampak Revolusi Tunisia Terhadap Negara-Negara Arab Revolusi Melati tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tapi justru semakin meluas dan menghipnotis rakyat di Negara Aljazair, Bahrain, Yaman, Mesir, Libya dan Negara-negara Arab lainnya di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk melakukan hal yang sama. Kebebasan pers dan menyatakan pendapat rakyat melalui jejaring sosial media seperti facebook dan internet tidak diperbolehkan. Pemblokiran jaringan internet oleh rezim menjelang demonstrasi ditujukan untuk mencegah koneksi antar para demosntran. Namun hal ini justru menjadi salah satu alasan untuk menumbangkan rezim karena telah melarang kebebasan informasi rakyat di kawasan Timur Tengah. Demikian pula dengan tidak adanya regenerasi kempemimpinan yang efektif karena rata-rata pemimpin mereka berkuasa antara 20-40 tahun lamanya. Bahkan pergantian kepemimpinan pun harus dilakukan dengan cara mengkudeta politik yang membawa kekerasan politik dalam rakyat. Akhirnya membawa rakyat mereka senantiasa dalam pertikaian politik. Dengan demikian rakyat di kawasan Timur Tengah memang belum merasakan demokrasi yang sesungguhnya. Dengan melihat beberapa hal tersebut, maka akan sangat wajar apabila revolusi Tunisia menjadi pemicu terjadinya Revolusi Melati di Timur Tengah. Dengan mengalirnya informasi tentang revolusi di Tunisia, serentak ekspresi kemarahan memuncak dan mendapatkan momentumnya, maka para penguasa pun menjadi sasaran pihak yang harus bertanggung jawab atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Ketidakmampuan para penguasa untuk membawa perubahan selama berkuasa menjadi alasan mutlak mengapa mereka harus menumbangkan para penguasa tersebut. Media baru juga menjadi alat penting tentang penyebaran dampak revolusi yang terjadi di negara-negara Arab lainnya di Timur Tengah. Setelah revolusi terjadi di Tunisia, berita dengan cepat tersebar ke negara-negara Arab lainnya. Alat media yang menjadi jalur penyebaran juga sangat bevariasi. Mulai dari media televisi sampai media sosial. Dengan membawa prinsip dan nilai-nilai demokrasi, serta bentuk penyajian berita yang terkadang dibesar-besarkan, berita tentang revolusi Tunisia pun tersebar ke berbagai negara-negara Arab lainnya dan memberikan sebuah keberanian bagi rakyat negara-negara Arab lainnya untuk melakukan hal yang sama seperti yang terjadi di Tunisia. Dengan adanya media sosial yang meliput tentang revolusi dan demokratisasi yang terjadi membuat para pengunjuk rasa dan pejuang demokrasi di Negara-negara Arab tersebut merasa tidak sendirian dalam hal ini dan merasakan bahwa seluruh dunia melihat dan mendukung mereka untuk melakukan hal tersebut. Hal ini bisa jadi sebuah kekuatan tambahan untuk memberikan motivasi meperjuangkan hak-hak mereka yang telah diambil oleh penguasa-penguasa otoriter mereka masing-masing. Inilah yang membuat masyarakat Arab melakukan revolusi di negara mereka. Kesimpulan Revolusi Melati yang terjadi pada akhir tahun 2010 hingga tahun 2011 bermula dari Revolusi Tunisia hingga menyebar ke berbagai Negara-negara Arab lainnya. Revolusi Melati sendiri merupakan sebuah peristiwa yang dalam dunia internasional, merupakan sebuah peristiwa besar. Hal ini dikarenakan peristiwa revolusi yang didasari oleh demokratisasi rakyat merupakan yang pertama kali terjadi selama beberapa dekade di Timur Tengah. Belum pernah ada satu Negara Arab di Timur Tengah yang pemimpin negaranya dijatuhkan oleh demonstrasi rakyat. Oleh karena itu Revolusi Melati ini merupakan sebuah sejarah baru untuk dunia Timur Tengah. Revolusi yang kemudian menggoncang stabiltas politik dan menjalar begitu cepat di kawasan Timur Tengah yang diberi nama Revolusi Melati adalah suatu istilah yang diberikan oleh orang-orang Timur Tengah untuk mengidentikkan pergolakan rakyat di Negara-negara Timur Tengah bagaikan bunga Melati yang sedang mekar. Bunga melati adalah jenis tumbuhan bunga yang menarik untuk dipandang, harum, dan simbol dari ekspresi kesucian dan ketulusan kasih sayang. Negara-negara yang bergejolak tersebut ibaratnya merupakan sebuah tangkai yang berada satu di Afika Utara dan kawasan Timur Tengah. Satu per satu kuncup itu mulai mengeluarkan baunya yang harum yaitu peristiwa-peristiwa yang memicu terjadinya revolusi. DAFTAR PUSTAKA Esposito,John L.,Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2002. Lapidus, Ira M.,Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000. Maidir Harun. Sejarah Kebudayaan Islam IV, Hand-Out, 2010 (tidak diterbitkan). Faizal I. Musada, 2013. “Demokratisasi Tunisia dan Pengaruhnya Terhadap Negara-Negara Arab”. Skripsi. Tidak diterbitkan http://www.wikipedia.org http://dunia.vivanews.com/news/read/211897-konflik-tunisia,. http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/01/110123_tunisia_pahlawan.shtml . https://www.academia.edu/5728612/Demokratisasi_di_tunisia, CURIKULUM VITE Dr. Firdaus, M.Ag, lahir di Rawang, Muaralabuh, Solok Selatan, Sumatera Barat, pada tanggal 16 Oktober 1962. Menyelesaikan Program Sarjana Lengkap pada jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 1989. Menyelesaikan jenjang S.2 jurusan Ilmu Agama Islam pada tahun 1995 di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan Program Doktor (S.3) Pendidikan Agama Islam pada IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2014. Pada tahun 1997 mengikuti pelatihan penelitian tenaga edukatif tingkat dasar dan pada tahun 1998 tingkat lanjut (fokus penelitian sejarah). Pada tahun 2000 tingkat profesional. Mengikuti Worshop For Lecturers Civic Education di Hotel Nusa Raya, Sawangan Bogor yang diadakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Pada tahun 2003 mengikuti Worshop on Civic Education di Hotel Natour Muara Padang dan pada tahun 2003 juga mengikuti Training of Trainers Civic Education di Wisma Syahida UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karya Tulis: Buku, Negara Adikuasa Islam: Deskripsi Analisis tentang Kejayaan Islam Pada Fase Pertama Abad VII-XIII M, Padang: IAIN-IB Press, 1999; Negara Adikuasa Islam Fase Kedua . Padang: IAIN-IB Press, 2000; Sejarah Peradaban Islam jld. I Padang: IAIN-IB Press, 2001; Sejarah Peradaban Islam jld. II, Padang: IAIN-IB Press, 2002; Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVIII M, Padang: Imam Bonjol Press, 2014. Artikel: Sentra-sentra Tarekat di Minangkabau, Jurnal Imam Bonjol, Padang, 2000.; Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau, Jurnal, Al-Turas, Padang, 2000; Transmisi Peradaban Islam ke Dunia Barat, Jurnal Kajian Islam, Padang, 2004; Surau Melayu, Jurnal Fikr Wa Adab, Padang, 2005; Jaringan Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVIII M, Jurnal At-Tarbiyah, Padang: 2014. Pekerjaan : Dosen (1) Sejarah Peradaban Islam; (2) Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) pada Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang sampai sekarang. Di samping itu sebagai Wakil Dekan bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga sejak tahun 2015. Email: firdatuk@gmail.com