Selasa, 31 Maret 2009

TENAGA KEPENDIDIKAN DAN PESERTA DIDIK Oleh: Firdaus Dt. St. Mamad

Ada fenomena yang crusial muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini. Dimana profesi guru sangat diminati oleh masyarakat. Ini dapat dibuktikan di IAIN yang mana Fakultas Tarbiyah lebih banyak diminati oleh calon mahasiswa dari pada fakultas lain. Yang menjadi pertanyaan penulis, apakah masyarakat berminat sebagai profesi guru karena mereka sudah memahi profesionalisme guru atau karena peluang untuk menjadi pegawai negeri dari guru lebih besar dari pada profesi lain? Agar tidak terjadi kesalah paham dalam memahami profesi guru, maka dalam makalah ini difokuskan pembahasannya tentang Tenaga Kependidikan dan Peserta Didik.

Pada bagian Tenaga Kependidikan akan dibahas, pengertian tenaga kependidikan, keutamaan pendidik, tugas dan tanggung jawab pendidik, kode etik (syarat-syarat) pendidik dan guru yang profesional. Pada bagian Peserta didik akan dibahas tentang pengertian peserta didik, potensi peserta didik, kebutuhan peserta didik dan dimensi peserta didik yang akan dikembangkan.

Tenaga Kependidikan

Pengertian Tenaga Kependidikan

Tenaga kependidikan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ps. 1 ayat 5, adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhusususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Ps. 39. dijelaskan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan , serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dalam makalah ini penulis menfokuskan pembahasan kepada pendidik. Pendidik menurut bahasa berarti orang yang mendidik (Poerwadarminta, 1991:250) Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, mu'allim dan muaddib (Ramayulis, 2004:84). Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, sebagaimana diungkap- kan dalam al-Qur'an Surat Ali Imran: 79 (… wa lakun kunu rabbanina bima kuntum tu'alimuna al-kitaba wa bima kuntum tadrusun) "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya". Kata mu'allim isim fail dari 'allama, yu'allimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur'an Surat Al-Baqarah: 31 (wa 'allama adama al-asma-a kullaha…) "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…". Kata muaddib, berasal dari addaba, yu'addibu sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi ( Addabani rabbi fa ahsana ta' dibi ) " Allah telah mendidik saya dengan sebaik-baik pendidikan". (Abu Hasan, 1989: 493). Di samping itu, dalam bahasa Arab kita juga mengenal istilah ustadz, mudarris untuk panggilan pendidik (guru). Di kalangan tarekat, kita mengenal istilah syekh, khalifah, tuangku, mursyid untuk pendidik. Dalam bahasa Inggris ada istilah teacher (guru), tutor (guru privat yang datang ke rumah), instructor (pelatih), lecture (dosen), trainer (pemandu) (Abuddin Nata, Filsafat.. 2005: 113). Jadi pendidik adalah tenaga kependidikan yang bertanggung jawab dalam menyeleng- garakan kependidikan.

Para ahli kependidikan memberikan pengertian pendidik dengan bervariasi, di antaranya; menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip Hasbullah, pendidik adalah orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik. (Hasbullah, 2003; 16). Pendidik juga dapat diartikan dengan individu yang mempu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. (Jalaluddin, 2002:122). Moh. Fadhil al-Djamali, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. (Ramayulis, 2004: 85). Sedangkan menurut al-Aziz yang juga dikutip Ramayulis, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.(Ibid) Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, mampu berdiri sendiri dan menanggung resiko dari segala perbuatannya. Justru itu, pertama dan utama sekali yang dituntut dari seorang pendidik adalah kesediaan dan kerelaannya untuk menerima tanggung jawab sebagai pendidik Dari pendapat di atas dapat disimpulkan pendidik itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, tidak hanya untuk kecerdasan otak saja tetapi juga berupaya menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berkepribadian baik.

Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.(Ibid;86). Menurut Ahmad Tafsir, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam orang yang paling bertanggung jawab dalam mendidik adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik. (Abuddin Nata, Filsafat… 2005: 114). Tanggungjawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal, pertama, karena kodrat, karena orang tua:ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya ,kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Menurut Ramayulis, orang tua bertanggung jawab dalam mendidik dalam lingkungan keluarga, sedangkan di lembaga pendidikan yang bertanggung jawab dalam mendidik adalah guru, dosen atau kiayi (Ramayulis, 2004:86). Akan tetapi menurut al-Qur'an yang menjadi pendidik secara garis besar ada empat, pertama adalah Allah SWT., kedua Rasulullah SAW, ketiga kedua orang tua dan keempat orang lain (guru) (Abuddin Nata, Filsafat 2005: 119). Dari keterangan di atas dapat kita ambil pengertian bahwa pendidik itu tidak hanya orang dewasa saja, tetapi Allah SWT dan Rasulullah SAW juga sebagai pendidik.

Profesi pendidik adalah mendidik. Istilah mendidik berbeda dengan mengajar. Mengajar dapat diartikan sebagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa/ anak didik. Sedangkan mendidik merupakan memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Mendidik juga dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani.( Sardiman, 2004: 52-53). Dari ungkapan di atas apat dianalisis bahwa mengajar lebih cendrong kepada transfer of knowledge. Kebanyakan guru dan juga orang tua wali sudah merasa puas kalau para anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya. Yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana dengan perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Cara evaluasi yang dilakukan oleh guru juga hanya melihat bagaimana hasil pekerjaan ujian, ulangan atau tugas yang diberikannya. Ini semua mendukung suatu pengertian bahwa mengajar hanya terbatas pada soal kognitif dan paling-paling ditambah dengan keterampilan dan jarang yang sampai pada unsur afektif. Itulah sebabnya banyak siswa dan bahkan mahasiswa yang kurang baik akhlaknya, sehingga tak malu mereka menendang dan mengeroyok gurunya.

Mendidik merupakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik. Dibandingkan dengan pengertian mengajar, maka pengertian mendidik lebih mendasar. Mendidik tidak hanya sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of values. Mendidik lebih komprehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik ranah kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia-manusia yang berkepribadian.

Keutamaan Pendidik

Dalam ajaran Islam derajat pendidik sangatlah dihargai kedudukannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Mujadalah: 11, artinya:

" Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sabda Rasulullah SAW., artinya:

"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur'an dan mengajarkannya". (H.R. Bukhari)

Sabda Rasulullah SAW, artinya:

"Tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada darah para shuhada'", (H.R. Abu Daud dan Turmizi).

Allah SWT dan Rasulullah SAW sangat menghargai kedudukan pendidik. Kedudukan pendidik lebih tinggi dari manusia biasa dan bahkan lebih tinggi dari para shuhada', karena guru bisa membuat orang menjadi pintar dan bisa membuat orng menjadi dekat kepada Tuhan. Tanpa guru orang bisa sesat, sehingga dalam ajaran tarekat guru itu suatu kewajiban. Orang yang belajar tarekat tanpa guru (mursyid), berarti gurunya adalah setan. Itulah imam al-Ghazali meletakkan posisi yang sangat penting kepada pendidik (guru).(Ramayulis, 2004: 87).

Sebahagian besar ahli pendidikan masih menganggap, guru salah satu unsur yang paling utama dalam proses pendidikan. Guru adalah sentral dalam proses pendidikan ( Imam Tholkhan, 2004: 218). Para ulama menjelaskan, bahwa guru adalah bapak spritual atau bapak rohani bagi seorang murid (Abuddin Nata, Filsafat… 2005: 121). Berbeda halnya dengan di Barat, seperti guru besar yang mengajar di universitas-universitas di Eropa pada abad pertengahan, pada waktu itu para guru besar terpaksa disumpah setia pada dekan fakultas dan patuh kepada setiap peraturan yang dibuat oleh universitas, dilarang mengambil cuti dan para mahasiswa diwajibkan memberikan laporan kalau guru besarnya itu berhalangan hadir (Ibid).

Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik

Tugas seorang pendidik dari satu sisi sangat mulia, karena pendidik merupakan "warasat al-Anbiya" yang mengemban tugas rahmat lil 'alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian ini dikem-bangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi. (Ramayulis, 2004: 88). Pada sisi lain tugas dan tanggung jawab pendidik sangat berat. Menurut Asnawir, tugas dan tanggung jawab pendidik (guru) meliputi: 1) tugas dan tanggung jawab dengan anak didik, 2) tugas dan tanggung jawab dengan guru lain, 3) tugas dan tanggung jawab dengan atasn dan 4) tugas dan tanggung jawab dengan orang tua murid atau dengan masyarakat. (Asnawir, 2003: 116) Apalagi dalam kontek pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan Islam terkait dengan nilai-nilai, memandang pendidik (guru) bukan saja pada penguasaan material pengetahuan saja, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spritual yang diembannya untuk ditransfor-masikan kearah kepembentukan kepribadian anak didik. (Imam Tholkhan,.2004; 219). Dengan demikian guru merupakn ujung tombak keberhasilan anak didik.

Kode Etik (Syarat-syarat) Pendidik

Persyaratan seorang pendidik menurut Mohammad Athiyah al-Abrasy yang dikemukakan oleh Abuddin Nata secara garis besar terbagi dua. Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan kepribadiannya dan yang kedua, berkaitan dengan keahlian akademik. (Abuddin Nata, Filsafat…, 2005: 129). Yang berkaitan dengan kepribadiannya 1) Seorang guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapat materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. 2) Seorang guru harus memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk. Bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa besr, pamer, dengki, permusuhan, dan sifat-sifat lainnya yang tercela menurut agama Islam. 3) Seorang guru harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya. 4) Seorang guru harus pemaaf terhadap muridnya. 5) Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru. Yang berkaitan dengan keahlian akademik 1) Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat dan watak murid-muridnya. 2) Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.

Pada masa Khilafah Fatimiyah (909-1171 M) didirikan Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum di Mesir yang mana pada waktu itu syarat untuk menjadi seorang guru secara umum dapat digolongkan kedalam 2 (dua) syarat: Pertama syarat Fisik: 1) Bentuk badannya bagus. 2) Manis muka (selalu berseri-seri) 3) Lebar dahinya. 4) Bermuka bersih. Kedua syarat Psikis. 1) Berakal sehat. 2) hatinya beradab. 3) Tajam pemahamannya. 4) Adil terhadap siswa 5). Bersifat perwira. 6) Sabar dan tidak mudah marah. 7) Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya. 8) Perkataannya jelas, mudah dipahami. 9) Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia. 10) Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji. (Abuddin Nata, Sejarah…, 2004: 143-144).

Menurut al-Kanani (W. 733 H) yang dikutip oleh Ramayulis, secara garis besar syarat seorang guru terbagi pada tiga. Pertama, yang berkenaan dengan dirinya. Kedua, yang berkenaan dengan pelajaran. Ketiga, yang berkenaan dengan muridnya. (Ramayulis, 2004: 89)

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan dengan dirinya: 1) Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatannya. 2) Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. 3) Hendaknya guru bersifat zuhud. 4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain. 5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara' dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah. 6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam. 7) Guru hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunatkan oleh agama. 8) Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. 9) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat. 10) Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan ketrampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan pelajaran: 1) Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, guru hendaknya bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik. 2) Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru selalu berdo'a agar tidaak sesat dan menyehatkan dan berzikir kepada Allah SWT. 3) Hendaknya guru mengambil tempat yang dapat terlihat oleh murid. 4). Sebelum mulai mengajar, guru hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur'an. 5) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarkhi nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu tafsir al-Qur'an, kemudian Hadis, ushuluddin dan seterus-nya. 6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan. 7) Hendaknya guru menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu. 8) Guru hendaknya menegur murid-murid yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas. 9) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan menjawab pertanyaan. 10) Terhadap murid baru, guru hendaknya bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya menyatu dengan murid yang lain. 11) Guru hendaknya menutup setiap akhir kegiatan belajar mengajar dengan kata-kata wallahu a'lam (Allah yang Maha Tahu) yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT. 12) Guru hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak dikuasainya.

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan muridnya; 1) Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah. 2) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. 3) Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. 4) Guru hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin. 5) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar muridnya dapat memahami pelajaran. 6) Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya. 7) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. 8) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan ataupun hartanya. 9) Guru hendaknya terus memamntau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya.

Dari beberapa syarat guru yang diungkapkan oleh para pakar Islam di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat menjadi guru itu secara umum terbagi pada tiga bagian; Pertama, syarat dari segi pribadinya, kedua, syarat dari segi akademiknya dan ketiga,syarat yang berhubungan dengan muridnya. Dari syarat-syarat di atas ternyata untuk menjadi guru itu memang berat syaratnya, sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Kita perhatikan di duania pendidikan sekarang ini, lembaga pendidikan kurang memperhatikan persyaratan seorang guru tersebut, sehingga banyak guru hanya berkualitas di bidang ilmu saja, sedangkan akhlaknya kurang dan lebih mengutamakan material. Ada guru yang menanyakan besar honornya, kalau horonya kecil dia tidak mau mengajar dan kalau honornya besar baru dia mau mengajar dan bahkan ada guru yang mengaitkan nilai dengan material. Barangkali inilah yang merusak mutu pendidikan.

Guru yang Profesional

Profesionalisme guru merupakan kunci pokok kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran di sekolah, karena guru yang profesional bisa menciptakan situasi aktif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang profesional diyakini mampu mengantarkan peserta didik dalam pembelajaran untuk menemukan, mengelola dan memadukan perolehannya dan memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan nilai maupun ketrampilan hidupnya. Guru yang profesional diyakini juga mampu memungkinkan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak kreatif.

Cukup banyak pendapat tentang karakteristik guru yang profesional. Guru yang profesional memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya, sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi berkelanjutan). 2) Menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi dan implementasi ilmu kepada anak didik. 3) Mendidik dan menyiapkan anak didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya tidak menimbulkan malapetaka bagi diri, masyarakat dan lingkungannya. 4) Mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didik. 5) Mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan. (Imam Tholkhan, 2004: 222-223). Di samping itu karakteristik guru yang profesional, yaitu guru yang selain menguasai bidang ilmu yang akan diajarkannya, juga menguasai cara mengajarkannya secara efektif dan efisien dan berakhlak mulia. (Moehtar Buchori, 1994: 30)

Apabila profesionalisme guru dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi guru bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan di tingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan guru dapat dijelaskan; Pertama, kapabilitas personal (person capability). Artinya, guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, guru sebagai inovator, yang berarti memiliki komitmenterhadap upaya perubahan dan reformasi. Ketiga, guru sebagai developer yang berarti ia harus memiliki visi keguruan yang mantap dan jauh kedepan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan zaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem. (Imam Tholkhan, 2004: 224).

Bila dianalisis tentang profesionalisme guru, maka seorang guru di samping menguasai bidang ilmu yang akan diajarkannya, dia juga menguasai ilmu-ilmu keguruan, seperti didaktik, metodik, paedagogik, ilmu jiwa dan ilmu-ilmu mendidik lainnya. Sementara ilmu-ilmu tersebut hanya dijumpai pada sekolah atau perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru, seperti IKIP, STKIP, Fakultas Tarbiyah pada IAIN atau UIN dan Jurusan Tarbiyah pada STAIN. Apabila diperhatikan secara seksama, Fakultas Tarbiyah tidak mencetak guru tafsir, guru hadis, guru fiqh, guru SKI dan aqidah akhlak. Sedangkan di madrasah dan pesantren dibutuhkan guru-guru tersebut, maka menurut penulis perlu dicarikan solusinya agar guru yang mengajar di madrasah dan pesantren betul-betul profesional. Dalam hal ini penulis menawarkan, bagi fakultas/jurusan non-Tarbiyah kalau ungin jadi guru yang sesuai dengan bidang studinya ia harus mengambil Akta IV, atau sejenisnya.

Peserta Didik

Pengertian Peserta Didik

Peserta didik menurut UU RI Nomor 2 tahun 1989 dan no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ps. 1 ayat 4, adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam pengertian umum, peserta didik/ anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan, sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik. (Hasbullah, 1999: 23) Oleh karena itu, peserta didik memiliki beberapa karakteristik, diantaranya: 1) Belum memiliki pribadi dewasa susila, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 2) Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 3) Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, perbedaan individual dan sebagainya.( Siti Meichati, 1976: 26)

Istilah peserta didik dalam undang-undang sisdiknas tahun 1989 dan 2003 masih tetap, tidak ada perubahan dan pengertianya juga tidak ada perubahan seperti yang diunghkapkan dia atas, namun para ahli dalam mengungkapkannya terdapat perbedaan. Ada yang memakai istilah peserta didik dan ada yang memakai istilah anak didik. Pada prinsipnya pengertiannya sama, hanya saja istilah peserta didik sifatnya agak umum dari anak didik.

Potensi Peserta Didik

Potensi anak didik menurut Munawar Khalil sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, sebagai berikut:

1. Hidayah Wujudiayah, yaitu potensi manusia yang berujud insting atau naluri yang melekat dan langsung pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.

2. Hidayah Hissyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurna hidayah pertama.

3. Hidayah Aqliyah yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini manusia mampu berfikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.

4. Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur'an dan Sunnah.

5. Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah sifatnya khusus. Sekalipun agama telah di turunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu agama menuntut agar manusia selalu diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada dalam keridhaan Allah SWT. (Ramayulis, 2004:102)

Dilihat dari apa yang diungkapkan oleh Munawar Khalil di atas, itu merupakan potensi yang positif. Di samping itu ada pula potensi negatif yang merupakan kelemahan manusia. Di antara potensi negatif manusia adalah pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan. Kedua, banyak masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta hal-hal lain yang menyangkut manusia.( Ibid: 103). Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, maka diperlukan bantuan orang lain, yaitu melalui pendidikan.

Kebutuhan Peserta Didik

Pemenuhan kebutuhan peserta didik, disamping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya menjadi lebih menarik. Oleh karena itu seorang pendidik harus memperhatikan kebutuhan peserta didik. Adapun yang menjadi kebutuhan peserta didik menurut Sardiman, adalah kebutuhan jasmani, kebutuhan sosial dan kebutuhan intelektual. (Sardiman, 2004: 113-114)

6. Kebutuhan Jasmaniah di antaranya kebutuhan kesehatan, makan, minum, tidur, pakaian dan sebagainya.

7. Kebutuhan sosial di antaranya keinginan untuk saling bergaul sesama peserta didik, guru dan orang yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama dan lain sebagainya.

8. Kebutuhan intelektual di antaranya keinginan untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang beragam. Mungkin ada yang berminat belajar ekonomi, sejarah, tafsir, biologi, fiqh dan sebagainya. Oleh karena itu seorang pendidik harus dapat menciptakan program yang dapat menyalurkan minat masing-masing peserta didik.

Dimensi Peserta Didik yang Akan Dikembangkan

Menurut Zakiah Daradjat yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa manusia mempunyai tujuh dimensi yang bisa dikembangkan melalui pendidikan. Ketujuh dimensi tersebut adalah dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan. (Ramayulis, 2004: 107).

9. Dimensi Fisik (Jasmani).

Mendidik jasmani dalam Islam memiliki dua tujuan sekaligus, pertama, membina tubuh manusia sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna, kedua, mengembangkan energi potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan fisik manusia

10. Dimensi Akal

Al-Isfahami membagi akal pada dua dimensi, sebagaimana yang diungkap oleh Ramayulis yaitu:

  1. Aql al- Mathbu', yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah ilahi.
  2. Aql al-Masmu', yaitu akal yang mempunyai kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. (Ramayulis, 2004: 110).

Kemampuan akal sangat terbatas, oleh karena itu akal memerlukan bantuan al-qalb. Dalam dunia pendidikan kemampuan akal dikenal dengan istilah kognitif. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak. Mendidik akal, berarti mengaktualkan potensi dasar akal yang dibawa sejak lahir.

11. Dimensi Keberagamaan

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut juga dengan homoreligius. Dalam diri manusia terdapat kebutuhan yang bersifat universal, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Oleh karena itu, tujuan (ultimate goal) pendidikan Islam, yaitu muttaqin. Tujuan ini akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai abdullah dan khalifah sekaligus.

4. Dimensi Akhlak

Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Salah satu tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembinaan akhlak al-karimah.

5. Dimensi Rohani (kejiwaan)

Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.

6. Dimensi Seni (keindahan).

Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh seseorang sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.

7. Dimensi Sosial

Seorang manusia adalah mahkluk individual dan secara bersamaan adalah mahkluk sosial. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tetapi juga sosial sekaligus. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dalam rangka aqidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran serta hukum-hukum Islam yang dapat meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar